Hari Keempat
Komodo-Pink Beach dan Gili Lawa
Pagi itu kami merapat ke Pulau Komodo. Menurut Ihsan, di Taman Nasional, selama kita berada di kawasan tersebut maka wajib membeli tiket masuk secara harian. Harga tiket memperhitungkan aktivitas misalnya snorkeling atau diving? Hitungan ini menentukan harga tiket yang harus dibayar. Kebangsaan pengunjung juga mempengaruhi harga tiket. Rencananya, kami hanya akan membeli tiket masuk namun tidak trekking di Pulau Komodo karena memilih untuk menghabiskan waktu lebih lama di Pink Beach.
Sampai di kantor ranger Komodo kami mengantri bersama-sama turis lain dan di tepampang di dinding kantor ranger legenda Putri Komodo. Sangat menarik melihat interaksi ranger dengan turis asing selama di Komodo. Saat kami di sana seorang ranger membuka pembicaraan dengan turis AS mengenai Donald Trump. Ranger itu membuka percakapan bertanya asal negara para turis yang sedang mengantri. Satu turis menjawab ia berasal dari AS. Si ranger langsung bertanya mengenai kabar Trump yang kemudian dijawab oleh turis bahwa Trump adalah “not my favorite President”. Ranger kemudian bertanya lagi apakah ia merupakan pemilih Trump. Turis AS tersebut menjawab dengan diplomatis “people who voted for Trump won’t be travelling this far!” Cukup menghibur melihat interaksi ranger dengan turis-turis asing ini. Penguasaan bahasa Inggris juga ranger relatif baik, mengingat syarat pendidikan cukup lulusan SMA.
Dermaga di Pulau Komodo. Karena tidak trekking jadi semua hanya bersandal jepit.
Sesudah membayar tiket masuk kawasan dan membeli souvenir kami segera kembali ke kapal, bersiap menuju Pink Beach. Pink Beach (atau Pantai Merah) adalah pantai di pulau Komodo yang pasirnya berwarna semu kemerahan. Mengapa pantai ini berwarna semu merah jambu, kami tidak kompeten menjawabnya. Namun ketika meraup pasirnya, terlihat ada butiran koral halus berwarna merah. Mungkin ini pembeda pasir di Pink Beach dengan pantai-pantai lain.
Pengalaman yang ditawarkan oleh Pink Beach sangat lengkap bagi kami semua. Pink Beach memiliki terumbu karang yang luar biasa indahnya untuk snorkeling dan anak-anak bisa bermain pasir dengan puas. Salah satu kegemaran baru kami adalah renang dengan gaya punggung sambil memandang tebing karang di kanan kiri serta langit biru di atas kemudian langsung membalikkan badan untuk snorkeling melihat ikan dan terumbu karang warna warni.
Menurut Ihsan, pasir di Pink Beach beberapa tahun lalu warna pinknya masih kuat bukan hanya di bibir laut. Rupanya banyak kapal dan pengunjung yang membawa pulang pasir-pasir ini untuk mendekor kapalnya serta untuk kenang-kenangan.
Janji warna merah jambu di Pink Beach memang tidak sejambon perkiraan awal, tapi membahananya pemandangan bawah laut ketika snorkeling membayar semuanya. Bahwa berkurangnya warna merah jambu itu karena kontribusi manusia bisa mempengaruhi liburan kita, apalagi dengan menyadari bahwa kemungkinan besar cucu-cucu kita tidak bisa menikmati Pink Beach karena warnanya tidak pink lagi.
Tapi pasir Pink Beach sementara ini minimal bisa memberikan kesenangan dikubur di pasir bagi anak-anak :D.
Semakin pagi di Pink Beach lebih baik karena lebih siang kapal-kapal yang merapat membawa turis makin banyak berdatangan. Yang sedikit memusingkan adalah lalu lintas sekoci bila merapat ke pantai kalau tidak berhati-hati bisa membahayakan turis yang sedang snorkeling. Semoga ada masanya perlu ada pengaturan turis di Pink Beach karena bisa pendek umur terumbu karang serta makin habis pasir berwarna pink karena banyaknya kunjungan.
Selesai dari Pink Beach, koki Kahar sudah menyiapkan makan siang untuk kami. Kali ini makan siangnya adalah bakwan mie, ikan kuah kuning, tumis kacang panjang dengan wortel, udang goreng tepung, caisim tumis jamur dan telur ceplok kecap. Seperti biasa menu makan siang dari Kahar membuat kami terlelap dengan sukses.
Tujuan berikutnya adalah Gili Lawa. Sambil menikmati teh dan kopi serta pisang bakar keju bikinan Kahar, kami bertanya pada Kandar kapten kapal, ada apakah di Gili Lawa? Rupanya ada sedikit trekking di Gili Lawa mendaki bukit untuk memandang matahari terbenam. Ada beberapa kapal di teluk Gili Lawa yang berlabuh dengan tujuan sama. Kami bertolak dengan sekoci dari kapal menuju pulau Gili Lawa, selama kurang lebih lima menit. Di perjalanan pendek itu sempat terlintas di benak kami bahwa pemandangan pulau-pulau di kanan-kiri kami sedikit mirip di film-film.
Sepintas ide menonton matahari terbenam di Gili Lawa biasa-biasa saja. Tapi kami lupa dengan takdir memotret senja di kepulauan Komodo (dan Labuan Bajo). Yaitu cekrek foto senja di manapun, hasilnya selalu luar biasa. Jadi bila ingin punya koleksi foto matahari terbenam yang dahsyat, semangatlah di Gili Lawa.
Ini adalah foto matahari terbenam yang menjadi template siapapun yang pernah memotret senja di Gili Lawa.
Setiap senja memiliki pemburunya. Berikut tampilan foto para pemburu senja di Gili Lawa.
Ada sedikit pemandangan yang mengganggu di Gili Lawa. Ada sampah di sana-sini di pinggir pantai, meski kalau sepenglihatan kami sampah tersebut bukanlah buangan dari turis. Menurut Ihsan, sampah tersebut adalah hanyutan dari laut yang arusnya mengarah ke pulau Gili Lawa, bukan buangan turis. Sependek pengamatan kami, rata-rata kapal cukup tertib mengelola sampahnya dalam arti ditampung semua di plastik hitam besar untuk kemudian dikumpulkan (dan sepertinya) di buang saat merapat di pelabuhan Labuan Bajo. Masih menurut Ihsan juga, seminggu sekali petugas Dinas Kebersihan akan keliling dari pulau ke pulau untuk mengumpulkan sampah.
Kembali ke senja. Matahari di Gili Lawa betul-betul pemurah menerbitkan cantiknya. Seolah-olah cerpen masyhur Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Negeri Senja menemukan justifikasinya di Gili Lawa (dan sebetulnya, mulai dari Labuan Bajo). Setiap sudut memiliki cuplikan senja yang mampu melahirkan keterpukauannya sendiri. Biasnya saja bisa menerbitkan palet seindah ini.
Kami adalah pengunjung terakhir di Gili Lawa di sore itu. Mendahului kami adalah sebuah keluarga yang sepertinya entah berasal dari Jakarta atau Bandung yang sebelumnya kami lihat juga di Pulau Rinca, Komodo dan Pink Beach. Ketika turun dari Gili Lawa kami tak sengaja mendengar si anak meminta ibunya (yang kebetulan asyik memotret) agar mempercepat langkah karena kasihan pada guide mereka yang harus mendayung. Kemudian kami mengetahui rupanya ada kesepakatan antara guide mereka dengan kapal kami agar mereka bisa meminjam sekoci daripada harus mendayung. Satu hal yang kami pelajari dari beberapa hari di kapal, yaitu antar kapal tolong menolong sangat kuat. Dari Pink Beach di sekoci kami ada seorang ABK dari kapal lain yang menumpang untuk didrop di kapalnya
Malam terakhir kami di atas kapal koki Kahar berusaha memastikan semua anggota rombongan kenyang sekenyang-kenyangnya. Bakwan mie, tumis sawi dengan wortel, oseng-oseng sosis dan jagung manis serta ayam bakar kecap. Satu sentuhan rutin dari Kahar adalah ia selalu menyediakan entah kentang goreng, nugget atau aneka seafood yang digoreng tepung. Kami menduga serba goreng tepung ini untuk antisipasi anak-anak yang pemilih makan. Abaikan foto pisang bakar keju di bawah secara bukan bagian dari makan malam, namun sisa snack sore.
Godaan untuk mengabadikan matahari terbenam di Di Gili Lawa ada seorang turis asing yang berlari dari tempat kami untuk berburu matahari terbenam ke bukit yang lebih tinggi. Berikut adalah fotonya sebagai perpisahan dengan senja Gili Lawa.
ps
Janganlah terlalu krater apakah anak-anak akan menikmati perjalanan yang serba alam atau tidak. Justru ketika mereka di tempat terbuka bisa menemukan banyak banyak kegembiraan seperti sekedar mengamati semut atau melakukan photo-bomb ketika ibunya hendak berfoto. Berikut contohnya.
Pelajaran Hari Keempat
1. Trekking di Pulau Komodo sebetulnya pilihan saja. Buat yang hobi trekking tentu silakan lanjut, tapi bagi yang ingin cepat-cepat snorkeling di Pink Beach sebaiknya hanya membayar tiket masuk kemudian bergegas.
2. Bila Anda ingin membeli souvenir (yang sebetulnya pilhannya terbatas juga), lokasinya selain di toko besar dekat bandara Labuan Bajo, ada juga di Pulau Komodo ini.
3. Tolong hindari memberi makan ke ikan di manapun. Di Pink Beach ada keluarga yang memberi roti ke ikan. Selain membuat kotor, apakah roti itu makanan ikan? Ingat, Anda sedang di Taman Nasional, jangan perlakukan ikan di terumbu karang seperti ikan gurame siap santap di restoran Sunda.
4. Jangan lupa bawa snack DAN air putih ketika di Pink Beach karena saking asyiknya snorkeling serta main pasir bisa lupa waktu kehausan dan kelaparan.
5. Periksa apakah kapal menyediakan sleeping bag. Bila tidak tersedia, sebaiknya bawa. Meski tidak dingin, angin di kapal cukup dahsyat bisa menerbangkan selimut atau sarung jadi sleeping bag bisa sangat membantu.
Hari Kelima
Pulau Kecil Tak Bernama- Pulau Sebayur-Pulau Kanawa
Pagi terakhir di Gili Lawa ini langit agak sedikit kelabu sehingga ada kekhawatiran akan turun hujan. Rencananya pagi terakhir ini kami akan mampir di sebuah pulau tak bertuan yang hanya muncul ketika air laut surut. Kemarin kami melewati pulau serupa dekat Manta Point, tapi berhubung tidak ada penvmpakan Manta jadi kami tidak berhenti. Lokasi pulau mungil ini berada di antara Gili Lawa dan Pulau Sebayur. Keliling pulau tersebut mungkin antara 50m2-100m2 saking kecilnya. Mirip pulau di Pirates of The Carribean pada adegan kejar-kejaran antara Johnny Depp dan Penelope Cruz buat yang masih ingat filmnya.
Berikut tampilan panorama dari pulau tak bernama tersebut.
Awalnya kami berpikir di pulau seperti itu hanya bisa berfoto saja karena rentang waktu yang tersedia terlalu singkat untuk melakukan aktivitas lain. Tapi ternyata ketika kami sampai ada beberapa orang yang sedang mempersiapkan tenda, bean bag serta meja kursi untuk makan siang. Rupanya pulau mungil itu bisa menjadi lokasi makan siang!
Apabila di pantai-pantai lain, ombak hanya bertemu dengan pasir, namun di pulau kecil ini ombak ternyata bertemu.
Pasir di pulau ini ternyata berwarna merah jambu. Kami jadi curiga, sebetulnya semburat merah jambu memang khas pulau-pulau di perairan Komodo ini, tidak eksklusif di Pink Beach saja. Meninggalkan pulau kecil berpasir merah jambu ini rupanya jadi salah satu perpisahan terberat buat kami.
Tujuan kami berikutnya adalah snorkeling di Pulau Sebayur. Kami sampai di Pulau Sebayur kira-kira jam 9.30 pagi. Sebayur adalah pulau tak berpenghuni meski di salah satu pulaunya menjadi resor untuk turis yang gemar diving. Salah satu keistimewaan snorkeling di Sebayur adalah moluska yang berwarna-warni.
Moluska yang kami maksud itu mirip dengan cangkang mutiara yang menjadi tempat tidur tokoh kartun Ariel di Little Mermaid-nya Disney. Bayangkan kerang memiliki semacam renda yang pinggirnya berwarna ungu terang atau tosca kemudian mendadak mengatup ketika kita melintas di atasnya. Moluska seperti ini banyak terlihat dan kecantikannya menjadikan Sebayur spesial. Saat itu hanya kami yang snorkeling di Sebayur sehingga pantai seolah-olah milik sendiri.
Salah satu hewan yang paling ditakuti ketika snorkeling adalah bulu babi alias sea urchin. Di Sebayur-lah pertama kali kami bersua dengan bulu babi yang bersembunyi di balik celah-celah koral. Mengapa takut pada bulu babi? Meski bulu babi merupakan hidangan sashimi yang dahsyat, tapi sengatan duri-durinya menyakitkan. Sebayur sendiri sebagai pantai memiliki laut yang tenang apalagi saat itu turisnya hanya kami sehingga cukup lama kami menghabiskan waktu di pantai maupun snorkeling.
Pada saat kami naik ke kapal menjelang waktu makan siang, tercium aroma yang sedikit lain. Rupanya koki Kahar sebagai hidangan perpisahan menyiapkan agar-agar sebagai pencuci mulut buat kami. Makan siang terakhir kami di Laba-Laba Boat adalah cumi kuah kuning, ikan bakar, tumis kerang pedas, udang kuah serta sop sayuran. Betul-betul pesta hidangan laut terbaik siang terakhir di atas kapal.
Sesudah makan siang, kapten Iskandar mengarahkan kapal ke perhentian terakhir sebelum Labuan Bajo yaitu Pulau Kanawa. Di Kanawa terdapat resor sehingga boat tidak bisa dekat merapat ke pantai. Duduk di resor ini harus membayar 100 ribu meski tidak ada kewajiban untuk memesan apa-apa di restorannya. Ketika kami turun dari boat dan mulai berenang menuju pantai, ternyata banyak bulu babi bergerombol di dasar! Untungnya kami menggunakan pelampung jadi mengambangnya cukup tinggi. Satu pengalaman berkesan di Kanawa adalah adanya sejenis ikan yang rupanya cukup agresif pada turis yang snorkeling. Kami merasa diikuti oleh ikan tersebut kemudian ada turis lain yang mengaku pipinya “digigit” oleh ikan tersebut meskipun tidak sakit. Meski koral di Kanawa menurut hemat kami belum secantik di Pink Beach atau di Sebayur, banyak bintang laut bertebaran di perairan dangkalnya sehingga menarik bagi anak-anak.
Siang itu kami harus mengucapkan perpisahan pada perairan Komodo. Karena harus meluncur kembali ke Labuan Bajo. Turun dari kapal, berfoto dulu bersama kapten Iskandar, koki Kahar dan ABK Ihsan sambil berterima kasih untuk kerja kerasnya yang membuat pengalaman kami sangat berkesan. Kami sangat merekomendasikan kapal beserta kru-nya Laba-Laba Boat. Semua kru sangat menjaga kebersihan, komunikatif serta mengutamakan keamanan.
Berbaju hitam di depan adalah Ihsan si ABK yang riang gembira mendampingi kami di setiap perhentian, berbaju biru di tengah belakang adalah Kahar sang juru masak kemudian di sebelah kiri Kahar adalah Iskandar kapten kapal.
Sesampai di hotel kami langsung menuju Sunset Hill Hotel untuk menginap semalam. Malamnya kami bersantap di Mediterraneo dan keesokan harinya kami brunch di Bajo Bakery dan Bajo Taco yang menyediakan makanan Meksiko. Adanya makanan Meksiko di Labuan Bajo merupakan kejutan menyenangkan karena tak terbayangkan sebelumnya di tempat sejauh ini ada hidangan Meksiko.
Tentu saja berat berpisah dengan tempat seindah Labuan Bajo dan kepulauan Komodo. Sebagai penutup dan salam perpisahan pada perairan Komodo, sebagian dari kami terjun ke laut kemudian berenang dan naik ke kapal. Ketika membereskan baju-baju renang yang masih basah sesampai di Jakarta, mendadak ada rasa sentimen yang menyeruak. Air yang tersisa itu berasal dari laut dan kepulauan ribuan kilometer jaraknya dengan bahasa yang terdengar asing. Namun dengan mereka yang jauh itu kita berbagi identitas kolektif bersama yang bernama Indonesia.
Pelajaran Hari Kelima
1. Sebaiknya luangkan waktu untuk beristirahat barang semalam di Labuan Bajo untuk berkemas dan membersihkan diri secara baik mengingat kesempatan untuk melakukan ini terbatas apabila di kapal.
2. Bermurah hatilah ketika memberikan tip untuk awak kapal terutama apabila mereka berusaha keras untuk menjadikan perjalanan Anda nyaman.
3. Sangat merekomendasikan kopi Flores terutama yang masih biji sebagai oleh-oleh, apalagi buat penggemar kopi. Perhatikan bahwa nyaris tidak terlihat kopi sachet dijual di warung-warung Labuan Bajo; ada kebanggaan tersendiri bagi warga ketika menyuguhkan kopi Flores sepertinya.
4. Banyaklah bersabar ketika berbicara dengan warga apalagi ketika memesan makanan di restoran, terutama apabila Anda berasal dari Jakarta. Terkadang orang Jakarta terbiasa berbicara dengan cepat sehingga sulit ditangkap perkataannya.
5. Berkemaslah dengan ringan untuk mempermudah mobilitas karena sarana dan prasarana Labuan Bajo terbatas. Bersiaplah untuk membawa sendiri koper-koper Anda menaiki tangga.